Rabu, 26 Mei 2010

Pemerintah Ingin Masyarakat Kurangi Makan Nasi

Pemerintah berambisi bisa menurunkan konsumsi beras (nasi) masyarakat hingga 1,5% per tahun. Hal ini dilakukan dalam rangka mengurangi ketergantungan pangan masyarakat terhadap beras dengan mengkonsumsi bahan pangan lainnya di luar nasi.

"Kita targetkan konsumsi beras kita turunkan 1,5% per tahun (mulai 2010)," kata Suswono dalam acara sidang regional Dewan Ketahanan Pangan 2010, di Hotel Red Top, Jakarta, Selasa (25/5).

Dikatakannya, seiring pertumbuhan penduduk yang terus bertambah setiap tahunnya, kebutuhan beras semakin meningkat, sehingga akan menjadi beban bagi negara.
Untuk itu kata dia, sudah seharusnya masyarakat mulai mengurangi konsumsi beras dengan miningkatkan konsumsi pangan lainnya seperti sayur-mayur, buah-buahan, ikan, tanaman pangan lainnya.

"Kalau ini bisa dikurangi, kita punya cadangan (beras) yang luar biasa," ucap Suswono. Selama ini konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia masih sangat tinggi atau mencapai 139 kg per tahun. Sedangkan negara-negara tetangga lainnya seperti Malaysia, Thailand sudah dibawah 100 kg per kapita per tahun.

Ia menuturkan, upaya ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk tetap menjaga kemandirian pangan terutama di sektor beras. Mengingat tantangan kedepannya dalam ketahanan pangan sangat kompleks, masalah konversi lahan yang meningkat, iklim yang tak stabil, penyakit hama dan lain-lain. "Konversi lahan sawah mencapai 100.000 hektar per tahun, namun penambahan lahan baru 20-30.000 hektar, targetnya 50.000 hektar ini masih kurang. Jadi otomatis akan berkurang terus," katanya.

Swasembada Pangan Terkendala

Sementara itu, Menteri Pertanian Suswono mengatakan upaya pencapaian swasembada pangan, khususnya padi, jagung, kedelai dan gula masih menghadapi kendala oleh keterbatasan lahan pertanian di dalam negeri.

Menteri Pertanian Suswono di Jakarta, Selasa, menjelaskan, untuk mencapai swasembada pangan berkelanjutan pemerintah telah menetapkan peningkatan produksi jagung sebesar 10 persen pertahun, kedelai 20 persen, daging sapi 7,93 persen, gula 17,56 persen dan beras 3,2 persen pertahun.

Dalam Sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2010, dia mengatakan, untuk mencapai target tersebut diperlukan peningkatan areal pertanaman seperti pada swasembada gula dibutuhkan lahan tambahan seluas 350.000 ton, untuk kedelai dibutuhkan lahan seluas 500.000 ha. "Tapi ada kendala. Hingga saat ini, pun belum ada kepastian soal lahan," ujarnya dalam kegiatan yang diikuti para Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Indonesia.

Kondisi tersebut, tambahnya, menjadikan satu lahan pertanian terpaksa dimanfaatkan untuk menanam berbagai komoditas tanaman pangan secara bergantian akibatnya Indonesia selalu menghadapi persoalan dilematis dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman. Jika menggenjot produksi kedelai, misalnya, produksi jagung akan turun karena lahan diambil kedelai dan sebaliknya, karena kedua komoditas tersebut ditanam saling menggantikan.

Mentan menyatakan, sebenarnya Badan Pertanahan Nasional telah menjanjikan lahan 2 juta ha dari total lahan yang terlantar 7,3 juta ha untuk areal pertanaman pangan namun hingga saat ini belum ada kejelasan soal lahan tersebut. Selain keterbatasan lahan, menurut Suswono, kendala lain yang dihadapi dalam pencapaian swasembada pangan yakni masih tingginya alih fungsi atau konversi lahan pertanian ke non pertanian.

Saat ini, lanjutnya, konversi lahan pertanian telah mencapai 100.000 ha per tahun, sedangkan kemampuan pemerintah dalam menciptakan lahan baru hanya maksimal 30.000 ha sehingga setiap tahun justru terjadi pengurangan luas lahan pertanian. Sementara itu, perubahan iklim yang mengakibatkan cuaca tidak menentu serta keterbatasan anggaran juga berdampak terhadap upaya swasembada produk strategis tersebut.

Menyinggung upaya pemerintah untuk mengatasi persoalan keterbatasan anggaran, Mentan menyatakan pemerintah mengembangkan program food estate atau kawasan pertanian skala luas dengan merangkul swasta, BUMN dan BUMD. "Food estate itu sebagai akselerasi, karena anggaran APBN terbatas. Orientasi untuk ekspor, tetapi kalau kebutuhan dalam negeri berkurang, maka diutamakan untuk mengisi kebutuhan dalam negeri," ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar